BAB 8: Belajar Menjadi Seorang Sekretaris
Terdengar pintu kamar diketuk saat Stela baru keluar dari kamar mandi. Dia membersihkan diri setelah lari pagi di sekitar perumahan. Gadis itu bergegas membuka pintu.
“Sorry ganggu,” ucap Candra begitu Stela menampakkan diri di sela pintu.
Sesaat kemudian pria itu tertawa melihat wajah Stela.
“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Stela lengkap dengan handuk yang melingkar menutupi rambut. Satu stel baju kaus berwarna hijau muda dan celana panjang hitam membungkus tubuhnya.
Candra mengarahkan jari telunjuk ke pinggir bibirnya sendiri, kemudian menunjuk wajah Stela.
“Ada sisa odol.” Candra menutup mulut saat ingin tertawa lagi.
Stela berlari kecil menuju cermin meja rias yang ada di kamar. Terlihat sedikit tumpukan odol di pinggir bibir. Dia mengambil tisu basah dan mengelap sudut bibir. Setelah bersih, gadis itu kembali lagi menghampiri Candra.
“Maaf. Kebiasaan gosok gigi habis mandi, jadi gitu deh.” Stela nyengir. “Kenapa, Can?”
“Instruktur private udah datang.”
“Ya ampun. Gue belum ngapa-ngapain nih. Rambut aja belum kering,” ucap Stela panik, “nggak bisa nunggu dulu ya?”
“Bagaimana ya? Sepertinya tidak deh. Orangnya sibuk sekali.”
Stela makin panik, kemudian melepas handuk yang menutupi rambut.
“Sebentar.” Stela menggosok rambutnya yang masih basah dengan handuk, berharap bisa kering dengan cepat.
Melihat betapa paniknya raut wajah Stela, Candra jadi tertawa keras.
Stela menoleh dengan kening berkerut ke arah Candra.
“Santai aja, Stela. Aku bercanda kok.” Candra terkekeh.
Mata stela melebar saat menyadari baru saja dikerjai Candra.
“Lo ngerjain gue ya?” Dia mengejar Candra yang segera menjauh, karena tahu akan jadi sasaran amuk Stela.
“Sini lo!” katanya lagi nyaris berteriak.
Candra tertawa sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuk secara bersamaan.
“Sorry.” Candra membuka mulut lebar-lebar agar Stela mengerti ucapannya.
Entah kenapa sifat usil Candra bisa keluar saat bersama dengan Stela. Dia bisa menjadi orang yang berbeda, tidak serius dan kaku seperti ketika berada di dekat Vincent.
Stela melihat Candra dengan wajah mengerucut dan merapatkan gigi.
“Awas lo!” Stela membuka lebar mulutnya sambil mengacungkan kepalan tangan ke atas.
Dia kembali lagi ke kamar, mengeringkan rambut dengan hair dryer agar cepat kering. Sebenarnya Stela malas menggunakan pengering rambut, kecuali saat terpaksa karena bisa merusak kelembapan rambut. Dari semua yang ada dari dirinya, hanya rambut yang bisa ia banggakan. Hitam, tebal dan mengkilap tanpa harus melakukan creambath atau masker ke salon.
Tidak sampai sepuluh menit, Stela turun ke bawah mengenakan kemeja kotak lengan pendek dan celana jeans, pakaian kebanggaannya jika tidak sedang bekerja. Tumbuh menjadi satu-satunya perempuan di keluarga setelah Ibunya meninggal, membuat gadis itu berpenampilan jauh dari kesan feminin.
Bukan hanya penampilan, wataknya juga sedikit keras dibanding anak perempuan lain. Dia lebih menyukai serial Kamen Rider dibandingkan Chibi Maruko-Chan, lebih menyukai main mobil-mobilan dibandingkan boneka Barbie. Karena itulah ketika kelas satu SMA, Stela telah meraih sabuk hitam Taekwondo dan pernah menjuarai turnamen tingkat provinsi.
Meski mahir dalam Taekwondo, Stela tidak memiliki tubuh tinggi semampai layaknya atlet Taekwondo kebanyakan. Saat melewati usia 18 tahun, tingginya tidak bertambah sedikitpun, mentok di angka 155 centimeter.
“Selamat datang, Dokter Auristela,” sambut Candra kembali formal saat tidak sedang berdua dengan Stela.
“Awas lo nanti ya?” gerutu Stela pelan sambil menebarkan senyuman sarat makna.
“Terima kasih atas sambutannya, Pak Candra,” balasnya lebih meninggikan nada suara.
Stela melangkah masuk ke ruangan khusus gym yang berukuran besar. Terlihat beberapa peralatan yang digunakan untuk fitnes tersusun di sisi kiri ruangan, sedangkan sisi kanan dibiarkan kosong.
“Maaf saya terlambat,” ucap Stela membungkukkan sedikit tubuh ke arah instruktur yang akan mengajarkan bagaimana berakting menjadi seorang sekretaris.
Instruktur perempuan itu berjalan dengan dagu terangkat mendekati Stela. Dia memperhatikan gadis itu dengan saksama, dari atas hingga bawah, kembali lagi ke atas lalu ke bawah. Begitu hingga lima kali.
Kedua alis Stela terangkat menyadari dirinya sedang diperhatikan.
“Ada yang aneh, Bu?” Stela bersuara.
“Tubuh kamu tegak. Tapi tidak cukup bagus untuk postur badan seorang sekretaris. Apalagi cara jalan kamu, jauh dari kesan feminin,” tutur guru itu setelah memperhatikan Stela.
“Saya nggak jadi sekretaris beneran, Bu.” Stela tersenyum singkat.
“Bisa pake high heels?”
“Eh? High Heels?” Mata Stela mengedip berkali-kali.
Seumur-umur dia hanya dua kali mengenakan high heels, yaitu ketika wisuda saat lulus kuliah kedokteran umum dan wisuda saat lulus pendidikan kedokteran jiwa. Sisanya? Sepatu kets menjadi pilihan bagi Stela, termasuk saat bekerja selama menjadi psikiater.
Instruktur melihat sekilas sepasang high heels yang berada di samping kanan Stela. Pandangan gadis itu beralih ke kanan. Tampak sepasang sepatu dengan tumit setinggi lima centimeter, runcing di bagian ujung.
Stela menelan saliva saat melihat sepatu itu. Mata cokelatnya kembali berkedip pelan. Candra yang berdiri di samping kanan, menahan tawa melihat raut wajah Stela.
“Belum pernah, ya?”
“Pernah dua kali, Bu. Waktu wisuda,” ungkap Stela cepat dengan menurunkan nada di ujung kalimat.
Candra kembali menahan tawa mendengar pengakuan jujur Stela.
“Sekarang kamu harus terbiasa menggunakan ini.” Instruktur perempuan itu mengambil sepatu dan meletakkannya di dekat kaki Stela. “Kenakan sepatunya. Kita mulai dulu dari cara berjalan.”
Mata Stela melebar diikuti dengan bibir sedikit terbuka. “Harus, Bu?”
Perempuan berusia empat puluh tahun itu menganggukkan kepala. Jari telunjuknya mengarah ke sepatu, lalu bergeser ke arah kaki Stela.
Gadis itu menghela napas berat, kemudian melepas sandal rumah yang dikenakan dan menggantinya dengan sepatu. Dengan membulatkan tekad, Stela berusaha berdiri menjaga keseimbangan agar tidak oleng ke kiri atau ke kanan. Dia sangat tidak menyukai high heels.
Sang Guru memintanya untuk maju beberapa langkah. Jadilah Stela maju tiga langkah, setelah menghela napas panjang.
Tiga langkah pertama berjalan mulus. Tubuhnya tidak oleng ke kiri atau kanan.
Kaki Stela nyaris keseleo saat melangkah lagi. Instruktur tersebut memberikan beberapa tips, agar ia bisa berjalan dengan baik tanpa goyang lagi dengan high heels.
Setelah bisa berjalan dengan banyak langkah menggunakan high heels, Stela diminta membentuk posisi tubuh tegak sempurna, seperti sekretaris di perusahaan besar pada umumnya. Dagu sedikit diangkat ke atas, pandangan sejajar dan pundak dengan posisi tegap.
Stela mengembuskan napas lega saat latihan selesai. Setidaknya dia sudah mulai bisa menguasai keseimbangan tubuh saat menggunakan high heels.
Candra berjalan mendekati gadis itu. Tampak raut prihatin di wajahnya.
“Capek?”
Stela memajukan bibir ke depan, kemudian mengangguk.
“Makan siang dulu gih. Setelah itu kita pergi.”
“Pergi? Ke mana?” tanya Stela bingung.
“Ke mall. Beli pakaian untuk kamu,” jawab Candra enteng.
“Hah? Belanja pakaian buat gue?”
Candra mengangguk cepat.
“Kalau beli buat gue nggak perlu ke mall, Can. Beli di ITC aja atau Tanah Abang, murah-murah dan kualitasnya juga ada yang bagus.”
Candra menahan tawa mendengar perkataan Stela. Dia mengeluarkan sebuah kartu berwarna emas, terdapat tulisan Visa di sana.
“Nggak usah khawatir dengan harga. Ada ini,” ucapnya enteng sambil menggoyang-goyangkan kartu kredit di depan wajah Stela.
“Kamu perlu pakaian, sepatu dan tas bermerek, Stela. Ingat! Kamu ini sekretaris pribadi seorang pengusaha di bidang broadcast yang selalu meraih rating tertinggi di setiap acara-acaranya. Tidak menutup kemungkinan juga, kamu akan muncul di televisi nanti.”
“Hah?” Mata Stela mengedip berkali-kali mendengar penjelasan Candra.
Muncul di televisi? Bisa tamat riwayat gadis itu jika sang Ayah melihat dirinya di televisi. Apalagi pria yang telah membesarkannya itu, sering menonton stasiun televisi berita yang dimiliki Vincent, TV-O.
Beneran hancur hidup gue, kalau Papa sampai lihat gue muncul di tv, keluh Stela dalam hati.
Bersambung....
