13. Cemas yang Menyerang
13. Cemas yang Menyerang
Pesta sore itu akhirnya berlangsung dengan meriah. Seluruh tamu yang diundang tak satupun yang tidak datang. Sang tuan rumah, ayah si pemilik acara pun muncul tepat bersamaan dengan kedatangan tamu pertama mereka. Ya, pria itu selalu datang di detik-detik terakhir saat ia dibutuhkan. Sama halnya dengan kejadian satu tahun yang lalu saat Abimanyu, buah hatinya lahir.
Hal itu masih membuat Mitha cukup bersyukur, setidaknya suaminya masih ingat pulang. Dari penjelasan suaminya beberapa waktu yang lalu, pria itu baru saja menemui teman-temannya untuk membahas kegiatan mereka beberapa hari kedepan.
Rencananya minggu depan, Yoga dan teman-temannya akan kembali melakukan hobi mereka, Paralayang. Mereka juga berencana membawa anggota keluarga mereka masing-masing. Yoga pun demikian. Ia sudah mengutarakan niatnya pada Mitha beberapa saat setelah kedatangannya.
Pria itu tak peduli, sambil menyalami tamu yang datang ia begitu antusias membahas keinginannya kepada istrinya. Mitha yang sungkan jika terlihat tak memedulikan tamu yang datang akhirnya hanya mengiyakan saja ajakan suaminya. Toh ia bisa membahasnya nanti. Setelah acara ulang tahun anak mereka selesai.
Saat hari semakin sore, akhirnya pesta ulang tahun itu berakhir. Para tamu-tamu kecil dan orang tua mereka satu persatu berpamitan pulang menyisakan sang tuan rumah mereka yang begitu bersuka cita mendapati tumpukan kado warna-warni di hadapannya.
Ia sebenarnya tidak peduli dengan isi kado yang ia dapat. Ia hanya tertarik dengan kertas pembungkus kado-kado itu yang terlihat begitu menarik. Namun saat kedua orang tuanya membuka kado-kado itu, ia semakin takjub. Berbagai mainan yang begitu meyenangkan membuatnya kebingungan untuk memilih mana yang akan ia mainkan terlebih dahulu. Hal itu sontak membuat para orang dewasa tertawa bahagia melihat ulahnya.
***
"Tha, minggu depan kamu pokoknya harus ikut ya. Teman-teman membawa keluarga mereka semua. Kita kan selama ini belum pernah pernah kemana-mana. Kamu harus mau ya," Yoga kembali mengutarakan keinginannya kepada istrinya.
"Oke, nggak masalah. Tapi Abimanyu nanti sama siapa?" Mitha balik bertanya sambil menepuk-nepuk bantal bersiap untuk tidur. Satu jam yang lalu buah hati mereka sudah lelap terlebih dahulu.
"Terserah kamu. Mau di rumah aja sama si mbak. Atau di bawa juga nggak masalah. Tapi kalau dibawa, si mbak juga harus ikut. Ntar kamu kan juga harus ikut kegiatan." Mitha merebahkan tubuhnya menghadap suaminya.
"Masak aku ikut paralayang, mas. Ngeri banget." ia tak bisa membayangkan betapa mengerikannya olah raga yang akan dilakukan oleh suaminya itu.
"Nggak cuma paralayang, kita juga mengadakan outbond. Jadi semua anggota keluarga bisa ikut." Yoga menyelipkan tangannya dibawah leher istrinya yang tampak memikirkan ucapannya.
"Oke deh, ntar aku pikirin lagi. Abimanyu mau dibawa atau nggak. Soalnya di sana kan dingin banget. Takut dia tak terbiasa," putus Mitha yang dihadiahi ciuman dalam dari suaminya. Tak hanya sampai di situ. Bibir suaminyapun menjelajah menuruni leher hingga tulang selangka Mitha.
Mitha yang selalu menunggu sentuhan suaminya dengan suka cita menyambut apa yang diberikan pria itu kepadanya. Ia sudah begitu merindukan suaminya. Ia begitu menyukai cara suaminya memuja tubuhnya. Tak sekalipun Mitha merasa tak terpuaskan oleh suaminya. Percintaan mereka tak ada yang tak luar biasa. Dan begitu pelepasan indah mereka dapatkan, Mitha yakin, hatinya semakin terpaut pada pria yang selalu dipujanya itu.
"Tha, kamu nggak pengen meraih masa depan kamu lagi? Sebentar lagi masa penerimaan mahasiswa baru. Apa kamu tidak ingin melanjutkan pendidikan kamu?" belum habis peluh di tubuh mereka, tiba-tiba saja Yoga menginterupsi sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia dapatkan bersama suaminya.
Mitha seketika terbelalak. Apakah ini sudah saatnya? Apakah suaminya sudah akan menendangnya dari kehidupannya? Apakah pria itu sudah mulai bosan kepadanya?
"Kenapa mas bilang gitu?" hanya kalimat itu yang mampu Mitha lontarkan. Tangannya bergerak meraih selimut menutupi tubuh telanjangnya. Dadanya berdegup kencang menunggu jawaban pria yang masih mengeratkan belitan tangannya di tubuh Mitha.
"Kamu juga berhak bahagia dan meraih masa depan mu, Tha. Kamu hanya tamatan Sekolah Menengah Atas. Sudah sewajarnya kamu mendapatkan pendidikan yang lebih baik." Hanya dengan kalimat itu, Mitha sudah mampu menyimpulkan keinginan suaminya.
Beberapa saat yang lalu ia merasa begitu bahagia. Ia merasa dipuja. Namun kini, hatinya benar-benar dihempaskan. Ia telah berkhayal terlalu tinggi. Sekali lagi Mitha merasa kecewa atas harapannya yang melambung tinggi.
***
Beberapa hari berlalu begitu cepat. Baik Yoga maupun Mitha tak membahas apapun setelah ucapan yang Yoga utarakan beberapa hari yang lalu. Mitha merasa ia sudah cukup paham dengan keinginan Yoga, sedangkan Yoga menganggap apa yang ia sampaikan sudah cukup jelas untuk dimengerti istrinya karena wanita itu tak bertanya apapun. Diam berarti mengiyakan. Hal yang terus terjadi berulang-ulang. Kurangnya komunikasi membuat hubungan mereka tak bisa di katakan baik-baik saja. Satu pihak enggan bertanya dan pihak lainnya tak memastikan apakah yang disampaikan sama dengan yang diterima lawan bicaranya.
"Tha, kamu beneran nggak apa-apa di rumah? Mama sama papa kan harus ke Bandung karena anak teman papa menikah. Tapi tadi pagi Bi Rum dapat kabar kalau ibunya meninggal. Jadi mama sama papa mau melayat ke Solo dua hari. Setelah itu baru ke Bandung untuk menghadiri undangan. Tadi pagi Bi Rum, Pak Agus sama yang lain sudah berangkat duluan. Mama dan papa baru menyusul sekarang. Si Mbak juga ikut. Kamu tahu sendiri kan mereka semua masih mempunyai hubungan keluarga. Di sini cuma tinggal Pak Supomo yang jaga rumah." Mitha mendengarkan penjelasan mertuanya yang sudah berpenampilan rapi lengkap dengan tas di tangannya.
"Mama nggak usah khawatir. Mitha bisa kok mengurus semuanya. Kalau masalah makan kan Mitha sama mas Yoga bisa beli kalau nggak sempat masak. Pak Supomo juga bisa diatur. Mama berangkat aja nggak usah khawatir," Mitha menyadari ke khawatiran ibu mertuanya.
Rumah mereka sebelumnya tak pernah sepi. Beberapa asisten rumah tangga, sopir, juga para pekerja di rumah ini berjumlah lumayan banyak. Mereka berasal dari daerah yang sama dan masih terikat hubungan keluarga. Bahkan suami bi Rum juga bekerja di rumah ini. Dan jangan lupakan juga pengasuh Abimanyu yang juga keponakan mereka. Sedangkan pak Agus dan yang lainnya juga masih kerabat dekat mereka. Mitha tak tahu jelasnya seperti apa. Jadi begitu datang kabar duka seperti saat ini, mau tak mau mereka semua pulang ke kampung halamannya bersamaan.
"Tapi Abimanyu panas gitu, mama jadi kepikiran," bu Nisa tampak ragu.
"Nanti sore sepulang Mas Yoga dari kantor, Mitha akan bawa Abimanyu ke dokter. Mama nggak usah khawatir. Cucu mama akan baik-baik saja," Mitha berusaha menenangkan. Ia tak ingin mertuanya berangkat dengan membawa kecemasan di hatinya.
"Mama sama papa sebenarnya berat yang mau berangkat, Tha. Kalau cuma undangan pernikahan sih, kami bisa datang belakangan setelah Abimanyu sembuh. Tapi kalau melayat kan nggak mungkin ditunda. Ibunya Bi Rum dulu adalah pengasuh Yoga dan Wira saat mereka masih kecil." tambah pak Pandu yang tiba-tiba muncul di samping istrinya.
"Papa sama mama tenang aja. Sekarang kalian berangkat, jangan terlalu memikirkan cucu kesayangannya. Nanti tambah rewel si Abimanyu gara-gara nenek sama kakek mikirin terus," Mitha mencoba bergurau.
Pak Pandu akhirnya mendesah pasrah. "Ya sudah kami berangkat ya. Kamu baik-baik di rumah. Hubungi kami terus. Jangan lupa juga nanti sore bawa Abimanyu ke dokter. Papa sudah menghubungi Yoga. Nanti dia tidak akan pulang telat," Mitha mengangguk mengiyakan. Segera di raihnya telapak tangan mertuanya dan mencium punggung tangan mereka begitu pasangan baya itu berpamitan. Rentetan pesan Mitha dapatkan dari ibu mertuanya. Wanita itu masih terlihat berat meninggalkan cucu dan menantunya tanpa pengawasannya.
Selama ini ia tak pernah meninggalkan menantu juga cucunya sendirian di rumah. Ia masih belum sepenuhnya pasrah jika cucunya hanya di asuh oleh menantunya saja. Bu Nisa sadar menantunya itu masih berusia belia. Ia masih belum berpengalaman apabila menghadapi buah hati yang sedang sakit seperti saat ini. Namun sekali lagi, ia harus menghilangkan semua kecemasan di hatinya. Ia berharap cucu, anak dan menantunya akan baik-baik saja.
###
