Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Kebahagiaan Baru

11. Kebahagiaan Baru

Setelah menghabiskan waktu semalam di rumah sakit, akhirnya di pagi hari Mitha sudah kembali pulang ke rumah.

Pembicaraan antara Yoga dan Mitha semalam pun akhirnya menyisakan janji Yoga yang akan memperbaiki sikapnya sedikit demi sedikit demi anak dan istrinya.

Saat jam dinding di ruang keluarga rumah pak Pandu menunjukkan angka sepuluh, Mitha dan Yoga pun tiba di rumah. Pak Pandu dan bu Nisa menyambut mereka dengan wajah bahagia luar biasa. Yoga memang tidak mengijinkan orang tuanya menjemput Mitha di rumah sakit. Ia bisa mengurus semuanya sendirian. Lagi pula hari ini ia memang berencana tidak masuk ke kantor. Ia sudah berjanji kepada istrinya untuk menghabiskan waktu mereka di rumah.

Sikap Yoga berbanding terbalik dengan Mitha. Wanita itu tampak layu tanpa semangat. Bahkan semenjak pulang dari rumah sakit, wanita itu seolah enggan membuka mulut. Rasa kesal akibat sikap Yoga yang masih abu-abu membuatnya malas berbicara kepada suaminya. Biarlah suaminya tahu jika ia sedang tak enak hati. Namun apa pria itu peduli dengan sikap diam Mitha? Mitha tak yakin suaminya akan terusik. Pria itu mempunyai sifat yang luar biasa bebal. Mitha akan melihat, seberapa besar usaha pria itu untuk meyakinkannya, menunjukkan keseriusannya.

"Aku ambilin buah ya? Sekarang sudah waktunya kamu makan buah," Yoga berucap sambil menumpuk beberapa bantal untuk Mitha bersandar di atas ranjang empuk kamar mereka.

Mitha hanya mengangguk pelan. Semarah-marahnya ia kepada suaminya, ia tak akan membuat bayi yang ada di dalam perutnya kelaparan akibat ia mogok makan.

Yoga pun segera melesat keluar kamar dan menghilang di balik pintu sesaat kemudian. Tak sampai lima menit, pria itu sudah memasuki kamar dengan sepiring penuh buah dan segelas susu.

"Aku juga pengen makan buahnya, jadi aku bawa lebih banyak," Yoga terkekeh melihat Mitha yang melebarkan mata begitu melihat piring yang ia bawa berisi dua kali lipat porsi buah yang biasa ia makan. Namun seketika senyuman terbit di wajah Mitha. Sepertinya wanita itu tak akan bisa terlalu lama memendam amarah kepada suaminya. Buktinya baru dibawakan buah dan susu saja, pertahanannya seketika runtuh. Yah, mungkin hal itu akibat suaminya yang tak pernah sedikitpun memperhatikannya. Jadi begitu suaminya bersikap manis sedikit saja, Mitha tak mungkin mampu menolaknya.

Dan sisa hari itu mereka lewati dengan suasana yang lebih baik dari hari sebelumnya. Mitha berharap setelah ini suaminya tak lagi berbuat ulah. Ia akan mencoba menerima keadaan suaminya apa adanya. Setidaknya untuk saat ini Mitha tahu apa alasan di balik ucapan suaminya kemarin. Pria itu terbiasa melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya saja tanpa tahu perasaan Mitha yang bisa saja tersakiti. Sepertinya kematangan berfikir dan bertindak suaminya tidak sejalan dengan bertambahnya usianya. Entah apa yang menyebabkan hal itu, padahal Wira yang usianya terpaut lima tahun darinya saja bisa bersikap lebih dewasa.

***

Akhirnya hari bahagia itu datang juga. Hari di mana calon penerus keluarga Yoga akan terlahir ke dunia. Sedari sore Mitha merasakan rasa sakit ringan yang kemudian berangsur menghilang di bagian bawah perutnya.

Awalnya Mitha mengira sakit perut biasa akibat terlalu banyak makan cabai saat ia melahap rujak buah siang hari tadi, namun ternyata bukan. Rasa sakit yang ia rasakan adalah tanda-tanda ia akan melahirkan. Minggu ini memang hari perkiraan kelahiran bayinya. Meskipun diserang kecemasan namun Mitha tetap berusaha tenang.

Pada awalnya ia segan mengetuk pintu kamar mertuanya. Ia sungkan akan mengganggu mereka berdua. Namun mau bagaimana lagi, ia sudah berkali-kali meeghubungi suaminya, namun panggilannya tak juga mendapatkan respon dari pria itu. Enatah sedang berada di mana suaminya itu. Sedari pulang kantor sore tadi pria itu sudah kembali keluar rumah tanpa mengatakan kemana tujuannya.

Perlahan Mitha mengetuk pintu kamar mertuanya sambil menahan rasa sakit yang sudah mulai terasa menusuk-nusuk perutnya. Sudah lebih dari satu jam yang lalu ia merasakan rasa sakit itu. Ia juga sudah tidak mmapu menahan rasa sakit itu lagi.

Tak lama setelah pintu diketuk, bnda persegi itupun terayun pelan menampilkan sosok ibu mertuanya yang tampak mengantuk. Sepertinya wanita itu baru saja tertidur meskipun hari masih belum terlalu malam. Saat melihat wajah Mitha yang pucat menahan sakit wanita itu seketika terbelalak kaget.

"Mitha kamu kenapa, nak?" tanyanya sambil menggenggam jemari Mitha, tangan kanannya menyentuh wajah juga kening Mitha demi memastikan menantunya baik-baik saja.

Mitha yang kembali merasakan sengatan rasa sakit seketika meremas jemari mertuanya kuat tanpa mampu memberikan jawaban. Bu Nisa semakin kalut. Dipapahnya tubuh Mitha memasuki kamarnya kemudian mendudukkannya di sofa. Segera dibangunkannya suaminya yang tampak tertidur di atas ranjang di hadapan Mitha. Pria baya itupun segera membuka matanya. Setelah itu bu Nisa segera meraih gelas air mineral yang tak jauh dari sofa dan memberikannya kepada Mitha untuk ia minum.

"Kamu kenapa, nak? Sakit ya?" bu Nisa mulai bisa menebak apa yang terjadi pada menantunya. Pasti menantunya itu sudah akan melahirkan.

"Sakit banget, ma," ucap Mitha sambil pengelus perutnya.

"Oke, kita akan ke rumah sakit sekarang. Papa, kamu suruh pak Imron siapain mobil. Mama akan siapin barang-barang Mitha." wanita itu memberikan perintah kepada suaminya. Pak Pandu segera melesat keluar kamar. Namun sesaat kemudian kembali "Yoga sudah tahu belum? Dia di mana?"

Mitha menggeleng lemah. "Mitha udah hubungi dia dari tadi tapi nggak diangkat, pa." pak Pandu mengangguk kmudian kembali melesat keluar kamar.

"Kamu rebahan dulu sebentar ya. Mama ambil barang-barang kamu. Kamu sudah siapin tas yang berisi kebutuhan kamu sebelumnya kan? Di taruh di mana?" sejak memasuki kehamilan tiga puluh minggu Mitha memang sudah menyiapkan dua buah tas berukuran besar yang berisi kebutuhannya dan bayinya saat ia melahirkan. Hal yang sudah biasa ibu hamil persiapkan menyambut kelahiran sang buah hati. Jika sewaktu-waktu ia melahirkan, ia tinggal membawa tas-tas itu bersamanya ke rumah sakit tanpa harus menyiapkannya lagi.

"Di atas meja samping sofa, ma." bu Nisa segera keluar kamar mengambil apa yang ia cari. Mitha memang sudah menyiapkan tas-tas itu di atas meja saat tadi sore menyadari jika akan melahirkan.

Tak berapa lama akhirnya Mitha yang dipapah kedua mertuanya pun meninggalkan rumah menuju rumah sakit. Pak Pandu yang duduk di samping sopir sedari masuk mobil terus menerus menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu mengatakan sedang menghubungi anak sulungnya. Namun hingga Mitha masuk ruang bersalin anaknya masih tak menjawab panggilannya.

Pria itu mondar-mandir diserang kecemasan luar biasa. Beberapa kerabat dan teman-teman Yoga ia hubungi untuk menanyakan keberadaan anaknya. Ia tak mungkin tega membiarkan menantunya berteriak kesakitan di dalam sana sedangkan putranya tak mendampinginya.

Di dalam ruang bersalin Mitha seolah tak mampu berusaha. Ia terus menerus menangis menanyakan kedatangan suaminya. Saat dokter yang membantu persalinannya memberikan instruksi kepadanya, Mitha tak mampu melakukannya.

Bu Nisa sudah membujuk menantunya itu, memberikan motivasi, namun nihil. Menantunya itu tetap kesakitan tanpa bisa menahan tangis. Mitha hanya ingin saat ia melahirkan, suaminya mendampingi di sisinya.

Setelah berusaha berkali-kali, dokter yang membantu persalinan tampak putus asa. Ia menyampaikan kepada bu Nisa bahwa Mitha memerlukan tindakan lanjutan demi keselamatan ibu dan bayinya. Jika tak segera dilakukan, kemungkinan mereka bisa kehilangan salah satu di antara mereka bisa saja terjadi.

Bu Nisa yang diserang kepanikan segera saja mengiyakan setelah berunding dengan suaminya. Apapun akan mereka lakukan asalkan menantu dan cucu mereka selamat.

Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari kejauhan tampak tubuh menjulang putra sulung mereka berlari sepanjang koridor rumah sakit. Pria itu segera menerobos pintu ruang bersalin Mitha untuk mendampingi istrinya di dalam sana.

Tak lama kemudian di belakang putra mereka tampak keponakannya, Abhimana. Kakak dan iparnya, Broto dan Astri juga muncul tak lama kemudian. Mungkin merekalah yang membawa Yoga ke sini. Tadi ia memang menghubungi beberapa kerabatnya untuk menanyakan keberadaan Yoga dan membantunya mencari Yoga.

Dan keajaiban pun terjadi setelahnya. Tak lebih dari lima belas menit setelah Yoga memasuki ruang bersalin Mitha, suara tangis bayi yang cukup keras terdengar dari ruangan yang masih tertutup rapat itu. Bu Nisa dan pak Pandu seketika berpelukan menyambut kebahagiaan baru di rumah mereka. Akhirnya mereka kini sudah menjadi kakek dan nenek. Rasa syukur yang tak terkira mereka ucapkan berkali-kali.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel