Pustaka
Bahasa Indonesia

Rumah Kami Surga Kami

322.0K · Tamat
DindaTirani
171
Bab
6.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Mbak Ayu memegang pergelangan tanganku. Lalu mengajak duduk di sofa ruang belajar itu. “Serius Sam… aku penasaran… karena teman-temanku sudah pada sering merasakannya. Cuma aku sendiri yang belum pernah. Sam mau kan menghilangkan rasa penasaranku ?” Mbak Ayu memegang tanganku erat-erat. “Mau sih mau Mbak. Tapi takut… “ “Takut apa ?” “Takut ketahuan sama Papa dan Mama… pasti mereka marah sekali nanti… “ “Ya jangan sampai mereka tau dong. Jadikan rahasia kita berdua aja. “ Saat itu Mbak Ayu mengenakan daster katun berwarna abu-abu polos. Dan tiba-tiba saja daster itu disingkapkan sampai perutnya. Membuatku tersentak lagi. Karena kakak tiriku itu tidak mengenakan celana dalam. Sehingga aku bisa langsung melihat kemaluannya yang… aaaah… jantungku berdebar-debar dibuatnya… ! “Mbak…. “ hanya itu yang terlontar dari mulutku. Dengan perasaan gugup tak menentu. “Ayo jilatin, Sam. Please…. “ pinta Mbak Ayu dengan nada memohon. “Tapi Mbak… menurut buku yang pernah kupelajari, tidak boleh langsung menyentuh kemaluan. Harus ciuman dulu… harus mainkan toket dulu dan sebagainya. “ “Ya udah… ikuti aja petunjuk yang pernah kamu pelajari itu. “ “Di sini ?” “Menurutmu harus di mana ? Di sini atau di kamarku atau di kamarmu ?” “Biar akunya pede, di kamarku aja Mbak. “ “Ayo, “ Mbak Ayu bangkit dari sofa, lalu melangkah duluan ke dalam kamarku. Setelah berada di dalam kamar, kututup dan kukuncikan pintu kamarku, lalu menghampiri kakak tiriku yang sudah duluan duduk di pinggiran tempat tidurku.

RomansaFantasiDewasaPerselingkuhanKampusKeluargaSweetMengandung Diluar Nikahbadboyplayboy

Part #1

Aku masih ingat benar, setahun setelah ibuku meninggal, Papa menikah lagi dengan seorang janda muda beranak dua orang. Jadi keadaannya seimbang, karena saat itu Papa pun punya anak dua orang, aku dan Yoga (adikku). Perbedaannya, Papa membawa dua anak cowok, sementara ibu tiriku membawa dua anak cewek.

Waktu Papa menikah itu, usianya baru 43 tahun. Sementara ibu tiriku berusia 32 tahun. Tapi anehnya, saudara-saudara tiriku itu usianya lebih tua dariku. Pada saat Papa menikah lagi itu usiaku baru 10 tahun, sedangkan Yoga baru berusia 9 tahun. Tapi saudara-saudara tiriku lebih tua dua dan tiga tahun dariku. Mbak Ayu berusia 12 tahun dan Mbak Ita berusia 11 tahun. Karena itu aku dan Yoga memanggil mereka Mbak.

Belakangan aku tahu bahwa Papa menikah dengan almarhumah ibuku waktu usianya sudah 32 tahun. Kemudian aku lahir pada saat usia Papa sudah 33 tahun. Setahun kemudian Yoga pun lahir.

Sedangkan ibu tiriku yang sudah kusebut Mama itu menikah waktu usianya baru 19 tahun. Lalu waktu Mama berusia 20 tahun lahirlah Mbak Ayu. Setahun kemudian lahir pula Mbak Ita.

Suasana di rumah kami jadi hangat setelah aku punya ibu tiri yang ternyata sangat baik itu. Beliau memperlakukan aku dan Yoga seperti anak kandungnya sendiri. Begitu pun Papa, memperlakukan Mbak Ayu dan Mbak Ita seperti anak kandungnya sendiri. Sehingga orang yang belum tahu seluk beluk keluarga kami, pastilah menganggap aku dan Yoga itu anak kandung Mama. Mereka juga pasti mengira Mbak Ayu dan Mbak Ita itu anak kandung Papa.

Mungkin di antara Papa dengan Mama dahulu sudah sepakat, bahwa mereka akan saling menitipkan anak-anak yang akan diperlakukan secara adil dan penuh kasih sayang.

Begitulah singkatnya latar belakang keluargaku.

Hari demi hari… bulan demi bulan dan tahun berganti tahun berjalan terus dengan cepatnya…. kami semua hidup dalam suasana damai. Tak pernah ada keributan yang berarti, karena aku, Yoga dan kedua kakak tiriku suka saling mengalah.

Tanpa terasa waktu berlalu, kami berempat sudah jadi mahasiswa-mahasiswi semua. Mbak Ayu sudah semester akhir, tinggal menunggu skripsi saja. Mbak Ita sudah semester lima, Yoga baru semester pertama, sementara aku sudah semester tiga.

Rumah kami pun sudah diperbesar. Kamarnya jadi ada 4. Anak-anak Papa dan Mama mendapat kamar masing-masing.

Sementara itu, Papa membangun pavilyun yang terpisah dari rumah utama. Di pavilyun itulah tempat Papa dan Mama.

Mungkin Papa dan Mama sengaja ingin menempati pavilyun itu agar tidak terasa berisik oleh suara kami berempat, yang terkadang memang mengeluarkan suara keras. Sewlain daripada itu, mungkin juga Papa ingin melatih kemandirian kami berempat dengan memberikan kebebasan menempati rumah utama.

Di rumah utama, kamar paling depan dipakai oleh Yoga, agar rumah kami ada “perisai” di setiap bagian krusial. Jadi Yoga ditempatkan di kamar paling depan, hitung-hitung ada penjaga keamanan di rumah kami. Di samping kamar Yoga adalah kamar Mbak Ita.

Aku dan Mbak Ayu ditempatkan di lantai dua. Kamarku yang paling depan, sementara kamar Mbak Ayu di bagian dalam, terhalang oleh ruang belajar.

Di ruang belajar itu aku dan Mbak Ayu sering belajar bareng. Tapi tentu saja kami menekuni jenis ilmu yang berbeda, karena kami berlainan fakultas.

Yang menyenangkan belajar dengan Mbak Ayu itu, adalah seringnya dia membuatkan minuman dan makanan ringan untukku. Minumannya terkadang teh manis atau kopi susu, terkadang black coffee saja. Makanan ringannya, terkadang bawan, pisang goreng atau french fries.

Setelah selesai belajar, kami suka ngobrol ke barat ke timur. Bahkan sering juga Mbak Ayu nonton bokep koleksiku yang selalu tersimpan di flashdisk, lalu diputar di laptopnya. Namun aku hanya berani menyimpan 1-2 film bokep di flasdisk itu, lalu didelete kalau sudah bosan menontonnya.

Tapi yang satu itu tentunya secara rahasia. Bahkan sering Mbak Ayu meminjam flashdisk berisi bokep itu, untuk ditonton di dalam kamarnya. Dengan suara yang didengarnya lewat earphone.

Bukan cuma menontonnya, Mbak Ayu juga sering mengajakku berdiskusi tentang segala yang pernah ditontonnya itu.

Bahkan pada suatu malam, setelah menonton bokep di ruang belajar, Mbak Ayu berkata, “Kata teman yang udah pengalaman sih dioral sama cowok itu nikmat sekali. “

Aku tersenyum dan menyahut, “Iya Mbak. Terutama kalau yang oralnya fokus ke clitoris. Kan clitoris itu paling peka di tubuh cewek. “

“Wow… kamu udah banyak tau ya. Emangnya udah punya pengalaman sama cewek ?” ucap Mbak Ayu sambil menepuk bahuku.

“Pengalaman sih belum ada Mbak. Cuma sering dengar ceritanya saja dari teman yang udah punya pengalaman. Juga sering baca buku pengetahuannya. Mbak sendiri udah punya pengalaman ?”

“Hiiiih… ! Pengalaman dari mana ? Pacaran aja baru satu kali waktu masih di SMA dahulu. Sampai sekqarang belum pacaran lagi. “

“Terus… sama pacarnya diapain aja ?”

“Ciuman bibir aja belum pernah. Paling cuma cipika-cipiki. “

Aku mengangguk-angguk dan percaya pada pengakuan kakak tiriku itu.

Tapi Mbak Ayu seperti sedang berpikir. Entah apa yang dipikirkannya.

Sesaat kemudian dia malah bangkit dari sofa ruang belajar. “Mau tidur duluan ah… udah malam sekali tuh, “ katanya sambil menunjuk ke jam dinding digital yang sudah menunjukkan pukul 23.05.

“Iya Mbak. Sleep tight and have a nice dream, “ sahutku sambil berdiri juga.

“You too… “ sahut Mbak Ayu sambil melangkah keluar ruang belajar dan masuk ke dalam kamarnya.

Aku pun melangkah ke arah kamarku. Dan melupakan percakapan dengan Mbak Ayu tadi.

Keesokan malamnya Mbak Ayu tidak muncul di ruang belajar. Sejak jam 7 malam dia sudah masuk ke dalam kamarnya. Lalu tidak keluar lagi.

Begitu pula pada malam-malam berikutnya. Mbak Ayu tidak muncul lagi di ruang belajar. Sementara aku tetap menyibukkan diri untuk menghafal di ruang belajar. Karena fakultasku adalah fakultas yang banyak hafalannya.

Sebenarnya di lantai bawah pun ada ruang belajar yang biasa dipakai oleh Yoga dan Mbak Ita. Tapi aku tak pernah nyelonong ke ruang belajar mereka. Begitu juga Yoga dan Mbak Ita, tak pernah nyelonong ke ruang belajar di lantai dua.

Beberapa malam kemudian, Mbak Ayu muncul lagi di ruang belajar. Aku yang sedang duduk di belakang meja tulisku menyambutnya dengan sikap ceria, “Mbak lama juga gak muncul di ruang belajar kita ini. “

“Biasa… ada langganan datang, “ sahutnya sambil tersenyum.

“Langganan ? Langganan apa ?”

“Langganan perempuan. Datang bulan. “

“Owh… kirain apa. Suka berapa hari datang bulannya Mbak ?”

“Sepuluh harian. Aku kalau datang bulan suka sakit kepala. Makanya gak mau mikir yang berat-berat. “

“Tapi sekarang sudah bersih ?”

“Sejak dua hari yang lalu juga sudah bersih. Sekarang sih mau begadang sampai pagi juga gak apa-apa. “

“Owh, iya… sekarang kan malam Minggu, ya. “

“Iya. Malam Minggu yang sepi… karena Papa, Mama, Ita dan Yoga pada ke Semarang. “

“Iya… kita berdua kebagian jaga rumah sampai Senin pagi, ya Mbak. “

Memang Papa, Mama, Mbak Ita dan Yoga pada ke Semarang. Mau menghadiri pernikahan keponakan Papa alias saudara sepupuku. Dan rumah tidak boleh ditinggalkan tanpa ada yang menunggunya. Karena itu aku dan Mbak Ayu tidak diajak ke Semarang, agar rumah tetap aman. Maklum belakangan ini sering terjadi pencurian di daerah kami.

Mbak Ayu menghampiri kursi yang sedang kududuki. Dan memegang kedua bahuku dari belakang, “Justru sekarang kita punya kesempatan baik, Sam. “

“Emangnya mau ngapain Mbak ? Mau nonton bokep semalam suntuk ?” tanyaku tanpa menoleh ke belakang.

Lalu terdengar suara Mbak Ayu di belakang kursiku, “Sam… aku ingin tau kayak apa sih rasanya kalau punyaku dijilatin seperti dalam bokep-bokep itu… kamu mau kan melakukannya ?”

Aku tersentak kaget. Permintaan kakak tiriku itu benar-benar di luar dugaan. Tak pernah terpikirkan sedikit pun kalau Mbak Ayu mau meminta sesuatu yang belum pernah kulakukan itu.

Aku pun bangkit dari kursiku. Menatap wajah kakak tiriku yang sebenarnya cantik itu. Dan baru sekarang aku memperhatikan kecantikannya. “Mbak serius ?” tanyaku.

Mbak Ayu memegang pergelangan tanganku. Lalu mengajak duduk di sofa ruang belajar itu.

“Serius Sam… aku penasaran… karena teman-temanku sudah pada sering merasakannya. Cuma aku sendiri yang belum pernah. Sam mau kan menghilangkan rasa penasaranku ?” Mbak Ayu memegang tanganku erat-erat.

“Mau sih mau Mbak. Tapi takut… “

“Takut apa ?”

“Takut ketahuan sama Papa dan Mama… pasti mereka marah sekali nanti… “

“Ya jangan sampai mereka tau dong. Jadikan rahasia kita berdua aja. “

Saat itu Mbak Ayu mengenakan daster katun berwarna abu-abu polos. Dan tiba-tiba saja daster itu disingkapkan sampai perutnya. Membuatku tersentak lagi. Karena kakak tiriku itu tidak mengenakan celana dalam. Sehingga aku bisa langsung melihat kemaluannya yang… aaaah… jantungku berdebar-debar dibuatnya… !

“Mbak…. “ hanya itu yang terlontar dari mulutku. Dengan perasaan gugup tak menentu.

“Ayo jilatin, Sam. Please…. “ pinta Mbak Ayu dengan nada memohon.

“Tapi Mbak… menurut buku yang pernah kupelajari, tidak boleh langsung menyentuh kemaluan. Harus ciuman dulu… harus mainkan toket dulu dan sebagainya. “

“Ya udah… ikuti aja petunjuk yang pernah kamu pelajari itu. “

“Di sini ?”

“Menurutmu harus di mana ? Di sini atau di kamarku atau di kamarmu ?”

“Biar akunya pede, di kamarku aja Mbak. “

“Ayo, “ Mbak Ayu bangkit dari sofa, lalu melangkah duluan ke dalam kamarku.

Setelah berada di dalam kamar, kututup dan kukuncikan pintu kamarku, lalu menghampiri kakak tiriku yang sudah duluan duduk di pinggiran tempat tidurku.

“Mau sambil nonton bokep sebagai penuntun kita ?” tanyaku sambil membuka lipatan laptopku dan meletakkannya di atas tempat tidurku, menyandar ke dinding.

“Iya… itu penting Sam. Biar jangan ngawur, “ sahutnya.

Aku tercenung sejenak. Mengingat-ingat video yang berisi oral sex sebagai foreplay. Lalu kuambil flashdisk silver dan kupasangkan di laptop yang sudah kuaktifkan. Sesaat kemudian layar laptopku mulai menayangkan adegan sepasang orang bule yang bersetubuh. Keduanya sudah telanjang bulat di kebun apel. Di atas hamparan kasur tipis.

“Wah… langsung pada telanjang gitu ya. Berarti kita juga harus telanjang seperti mereka ?” tanya Mbak Ayu sambil menelungkup dengan wajah menghadap ke arah layar laptopku.

“Mungkin memang harus begitu Mbak, “ sahutku.

“Kamu juga harus telanjang dong, “ ucap Mbak Ayu sambil menepuk punggungku.

“Aku sih gak usah telanjang. Kan Mbak cuma ingin dioral. Bukan mau bersetubuh. Jadi aku hanya akan menggunakan tangan dan mulut… jadi gak usah telanjang kan ? “

“Nggak fair dong ah. Seperti di film itu kan sama-sama telanjang. “

“Mereka nantinya bersetubuh Mbak. Wajar aja kalau sama-sama telanjang. “

Bersambung