Bab 5 Ngobrol Sama Raffa
Angela dan Raffa ada di aula sekolah. Hari ini adalah hari audisi untuk pengisi acara Pensi. Hampir semua siswa-siswi di sekolah mereka antusias ingin ikut tampil di acara itu. Karena jumlah peminat pengisi acara banyak, akhirnya pihak sekolah yang dibawahi langsung oleh Wakasek Kesiswaan ikut turun tangan menangani masalah ini. Pembina OSIS dan panitia seksi acara sejak jam pulang sekolah tadi sudah ada di aula untuk menyeleksi siapa saja yang akan tampil di acara Pensi nanti itu.
Angela dan Raffa juga ikut sibuk menyiapkan aula buat keperluan audisi bersama para pengurus OSIS lainnya.
Ketika proses audisi berlangsung di dalam aula, keduanya keluar ruangan. Mereka memilih menunggu di luar aula. Beberapa pengurus OSIS yang tidak terlibat sebagai seksi acara juga memilih menunggu di luar tapi masih di sekitar aula. Yang ada di dalam aula hanya tim audisi bersama peserta.
Angela dan Raffa duduk bersebelahan. Mereka tadi sempat membawa kursi dari dalam aula yang mereka letakkan di luar pintu. Sesekali keduanya melihat ke arah dalam, untuk memantau jika saja tim di dalam perlu bantuan mereka.
”Huuufffttt.... banyak banget yang ikut audisi. Seksi acara pasti bingung tuh nyeleksinya,” kata Angela dengan raut muka yang mulai terlihat bete.
Raffa menggangguk setuju.
”Iya. Nggak nyangka kalau sampai segini banyak yang pengen ikut ngisi acara Pensi nanti, kak,”
”Kalau dilolosin semua juga nggak mungkin. Acara Pensi bisa-bisa kelar sampai dini hari,” imbuh Angela.
Raffa tersenyum mendengar itu. Tak ada percakapan beberapa detik ke depan. Keduanya sama-sama melihat ke arah dalam sejenak. Entah sekarang sudah nomor urut yang ke berapa yang sedang di seleksi. Terlihat 4 orang sedang maju di panggung mini yang ada di aula untuk tampil. Sepertinya mereka sedang bermain drama. Dan entah apa pula judul dramanya. Angela dan Raffa hanya melihat sekilas saja.
Untuk ke sekian kalinya, Angela menghembuskan nafas panjang. Guna mengusir kebosanan yang sudah melandanya itu, akhirnya ia mengajak Raffa mengobrol.
”Raff, selain urusan pengisi acara ini, persiapan yang lain-lain gimana ? Tiket mungkin? Udah beres ?”
”Insya Allah sudah, kak. Udah didesain garis besarnya. Cuma tulisan lokasi yang masih dikosongin. Kan nunggu kepastian lokasi acara aja. Tapi Minggu ini lokasi acara sudah diputuskan kok,”
Angela menganggukan kepalanya.
”Baru kali ini di sekolah kita Pensinya diadakan di luar sekolah. Pada antusias banget semuanya sama Pensi ini. Sekolah sampai nggak cukup nampung. Gedung yayasan juga nggak muat. Terpaksa deh nyari lokasi yang muat,”
Raffa kembali tersenyum.
”Pada suka sama artisnya kayaknya kak,”
Angela melirik sembari menganggukan kepalanya lagi.
”Artisnya emang band yang lagi naik daun sih. Sedang booming gitu lagu-lagunya. Makanya pada pengen liat,”
Giliran Raffa yang mengangguk.
”Saya nggak menyangka kalau para alumnus juga minat ikutan nonton Pensi. Makanya jadi nggak muat gini sekolah kita,”
”Eh, iya tuh. Aku sendiri heran itu. Kemarin waktu Gustav bilang ada kakak alumnus yang udah lulus 5 tahun lalu mau ikutan beli tiket Pensi jadi kaget sendiri. Itu serius apa bercanda sih?”
Raffa tersenyum untuk ke sekian kalinya.
”Serius kak. Beneran itu. Pihak sekolah kemarin bilang, banyak alumnus yang udah lulus bertahun-tahun lalu, telepon ke sekolah buat nanyain kapan Pensinya? Berapa harga tiketnya? Beli tiketnya dimana? Pada mau nonton katanya,” jawab Raffa yang kemudian disusul dengan tawa ringan.
”Mereka bilang nggak tahu info Pensi yang mau ngedatengin Sahadewa Band itu tahunya darimana?”
”Ngakunya tahu dari akun sosmed sekolah kita, kak. Tapi ada juga yang tahunya dari adik atau saudaranya yang masih bersekolah di sini gitu,”
”Oooh.”
Hening beberapa saat.
”Tiket yang kategori umum hanya dijual untuk para alumnus aja kan?”
”Iya, kak. Kemarin bapak kepala sekolah sudah memberikan pengarahan ke kami, tiket umum Pensi hanya dijual untuk para alumnus saja. Demi keamanan acara juga. Kalau selain para alumnus, takutnya nanti terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namanya acara kayak gini ini kan selalu susah diperkirakan apa yang akan terjadi nantinya,”
Angela menganggukan kepalanya.
”Iya, massa yang berkumpul dalam jumlah banyak kadang susah dikendalikan. Bisa aja terjadi keonaran. Kalau masyarakat umum gitu kita kan nggak tahu gimana latar belakang dia, kalau dia-nya biang onar kan kita juga yang repot. Kalau para alumnus kan setidaknya masih bisa tahulah. Para alumnus kan juga nggak mau nama sekolahnya cemar. Biar bagaimanapun dia punya ikatan emosional sama sekolah kita. Jadi mikir dua kali lipat kalau mau bikin onar di Pensi,”
Raffa mengangguk.
”Terus untuk memantau pembeli tiket umum gimana ? Kan kita nggak tahu kalau mereka beneran kakak kelas kita dulu apa bukan ? Kita kan nggak kenal kakak kelas kita yang udah 3 tahun lebih di atas kita ?”
”Oh...itu.. penjualan tiket untuk yang umum akan ditangani pihak sekolah langsung, kak. Nanti ada guru yang ditunjuk kepala sekolah buat nanganin. Kalau nggak salah, akan cek data juga sih kak. Takutnya, dia beli tiket tapi bukan buat dia sendiri. Di jual lagi gitu. Kan bahaya kalau gitu,”
Angela langsung mengangguk setuju.
”Iya. Wajib itu. Cek dan ricek penting banget. Takutnya ada yang bertindak kayak calo. Beli tapi terus di jual lagi. Atau bisa juga seorang alumnus yang beli tiketnya beberapa, terus di kasih ke temen atau saudaranya gitu. Bahaya juga ini. Pensi kita jadi kemasukan orang luar,”
Raffa tersenyum seraya mengangguk.
”Pihak sekolah juga sudah berusaha mengantisipasi sih kak. Tiket umum dijual nggak lebih dari 300 lembar aja. Pembelian tiket langsung ke sekolah, nggak boleh diwakilkan. Soalnya mau cek data dia juga. Terus sekolah juga bekerjasama dengan pihak kepolisian untuk menangani keamanan acara nanti. Takutnya kalau kita sendirian yang menangani malah nggak sanggup,”
Kembali Angela menganggukan kepalanya.
”Iyalah. Kebayang banget repotnya kalau kita yang musti nanganin sendirian. Acara kita nanti berlangsung di luar wilayah sekolah. Jumlah panitia plus guru yang terlibat di acara terbatas. Nggak akan sanggup nanganin massa. Entah berapa jumlah total penonton Pensi nanti. Siswa-siswi dari kelas X, XI dan XII aja ada 1.200an. Belum lagi ditambah total guru, TU dan pihak yayasan, kalau di tambah para alumnus nanti, kebayang kan berapa banyaknya ?”
”Banyak banget pastinya kak?”
Raffa tersenyum. Angela juga. Hening beberapa detik. Angela menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Sesaat keduanya diam.
”Aku senewen sendiri ngebayangin acara Pensi nanti. Ngelibatin banyak orang soalnya,”
”Sama, kak. Saya lebih senewen lagi nih,”
Angela tertawa ringan.
”Eh, iya. Kamu pasti lebih senewen. Stress tingkat tinggi deh. Ketua panitia sih,”
Giliran Raffa yang tertawa. Mereka terdiam beberapa detik kemudian. Angela menengok ke dalam aula. Audisi masih berlangsung. Sepertinya kali ini yang di audisi seorang siswa dari kelas X. Dia membawa gitar dan menyanyi. Angela kembali mengajak Raffa mengobrol.
”Raff, kamu bilang tadi, katanya Minggu ini segera ada keputusan lokasi Pensi ya ? Kira-kira dimana ?”
”Belum tahu, kak. Minggu lalu kami sudah survey ke beberapa gedung. Laporan biaya sewa gedung plus lain-lain sudah kami sampaikan ke pihak sekolah. Tapi belum diputusin. Kemungkinan pakai gedung kesenian itu. Soalnya selain harga sewanya lebih miring, juga lebih dekat dari sekolah. Terus soundsystemnya sudah lumayan memadai pula buat band yang kita undang nanti,”
”Iya. Kalau acara kayak gini tuh soundsystem penting banget. Jangan sampai yang ada di belakang nggak bisa ngedengerin suara dengan jelas. Bisa ngamuk ntar,”
Raffa mengangguk setuju.
”Iya, kak. Sabtu pulang sekolah nanti, saya, kak Gustav, panitia seksi acara, pembina OSIS dan Wakasek Kesiswaan, insya Allah mau survey sekali lagi beberapa gedung itu. Sekalian ngecek semuanya, mulai kursi, soundsystem, panggung, kamar ganti, kamar mandi, keamanan, tempat parkir dan lain-lainnya gitulah. Kami cek sedetil mungkin. Kalau sudah fix, nanti Senin kemungkinan besar pihak sekolah sudah memutuskan gedung acara Pensi. Dan Selasa-nya udah bisa bayar DP gedungnya,”
”Uang DP gedungnya darimana?”
”Ditalangin pihak sekolah dulu kak. Kan uang tiket belum terkumpul,”
”Oh... syukur deh kalau semua sudah berjalan dengan baik kayak gini. Semoga lancar sampai hari H pelaksanaan,”
”Aamiin,” sahut Raffa spontan. Ia tersenyum usai mengaminkan perkataan Angela itu.
Usai Angela dan Raffa berhenti bercakap-cakap seperti itu, sejurus kemudian Sherin, Naya dan Dila muncul dari dalam aula, lewat pintu yang satunya lagi. Wajah ketiganya juga terlihat bete. Sama seperti wajah Angela beberapa waktu yang lalu. Angela melihat mereka. Ia memanggil dan melambaikan tangannya ke arah mereka. Ketiganya melihat itu. Lantas berjalan menghampiri Angela.
”Kalian udah selesai audisinya?” tanya Angela langsung berdiri begitu ketiganya sudah mendekat. Raffa ikutan berdiri. Ia menganggukan kepalanya sembari tersenyum sebagai isyarat menyapa ketiga kakak kelasnya itu.
”Aku sih udah selesai dari tadi. Nungguin Naya aja nih. Dapat nomor urut audisi jauh banget dari aku, sampai bete gini nungguinnya,” sahut Sherin.
Dila menghembuskan nafas kesal.
”Iiiihhhh...masih betean akulah. Aku kan nggak ikut audisi tapi ikutan nungguin kalian sampai jam segini,” protesnya. Wajahnya juga terlihat cemberut.
Naya menepuk-nepuk pundak Dila untuk menenangkannya.
”Maaf ya. Jadi ikutan nunggu. Makasih juga udah ditungguin,” kata Naya. Sherin ikut mengucapkan terima kasih ke Dila. Terlihat cemberut di wajah Dila sedikit sirna usai mendengar ucapan terima kasih dari sahabat-sahabatnya itu.
Sherin dan Naya ikut audisi. Sherin audisi jadi MC acara. Ia lolos dan akan duet bersama Farrel. Sedangkan Naya yang ikut ekskul tari turut audisi bersama tim tarinya. Dan timnya pun lolos seleksi. Hanya Dila yang tak ikutan audisi. Ekskul yang diikutinya majalah dan mading sekolah, jadi ia merasa tak perlu ikut audisi sebagai pengisi acara di Pensi nanti.
”Njel... anak-anak OSIS nggak ikut tampil gitu di Pensi?” tanya Sherin.
”Ikut kok. Anak-anak OSIS cuma tampil sekali secara keseluruhan. Di pembuka acara aja. Nge-dance rame-rame gitu,”
”Kamu ikutan kan ?”
”Pastilah, Sher,” sahut Angela dengan suara mantap.
Dila menyikut Naya. Ia memberi isyarat mengajak pulang. Naya mengangguk.
”Njel kami mau pulang nih. Kamu nggak pulang sama kami?” tanya Naya.
”Nggak nih. Maaf ya. Aku sama anak-anak OSIS kan musti ngeberesin aula. Jadi musti nunggu sampai audisi selesai,”
”Oohh...ya udah, kami duluan ya?” kali ini giliran Sherin yang bersuara untuk pamitan. Angela menjawab dengan anggukan.
Ketiganya juga berpamitan dengan Raffa sebelum berjalan menuju pintu gerbang sekolah untuk pulang.
