Sepuluh
Sepuluh
Kemarin, setelah menghabiskan waktu hingga larut malam bersama Pras, pagi ini Rima bangun tidur dengan rasa pening luar biasa. Kemarin siang ia bahkan meminta izin absen kepada atasan di tempat kerjanya. Untung saja Rima belum pernah sekalipun membolos meskipun bekerja sambil kuliah. Jadi, wanita baik hati itu memberinya izin meskipun berat.
Satu hal lain yang juga menjadi keberuntunganya, hari ini Rima tidak ada jadwal kuliah. Ia bisa beristirahat lebih lama di rumah. Semoga nanti siang rasa pening di kepalanya akan segera reda sehingga ia bisa kembali bekerja.
Bekerja. Kata itu lagi-lagi menjadi perdebatan. Setelah sang ibu menyuruhnya berhenti bekerja, diikuti Reno, lalu ayahnya, kemarin Pras juga meminta hal yang sama. Sepertinya Rima harus mempertimbangkan kembali keinginannya. Terlalu banyak orang yang menentangnya untuk terus bekerja. Bahkan, ayahnya sampai mengatakan jika Rima ingin tetap bekerja, ia bisa magang di kantor Pras. Benar-benar ide konyol bagi Rima. Bagaimana mungkin ia bisa menjalani hidupnya dengan normal jika Pras akan lebih sering membayanginya?
Tadi malam Rima juga tak lupa mengembalikan jaket Pras.
Setelah seharian menghabiskan waktu bersama, akhirnya pria itu mengantarnya pulang. Kali ini Pras mengantarnya langsung ke rumah. Pria itu bahkan bertemu dengan ibu Rima dan ayahnya.
“Rim, bangun, Nduk, sudah siang. Anak perawan, kok, malas-malasan? Nanti jodohnya hilang, lho.”
Jodoh. Sepertinya jodoh Rima sudah lenyap sejak tiga tahun lalu.
Belum sempat Rima kembali tidur, suara ibunya tiba-tiba mengusik disertai suara pintu yang terhempas kuat. Yah, begitulah ibu Rima. Wanita itu menurut Rima selalu sembrono dan tak bisa melakukan sesuatu tanpa meninggalkan suara berisik yang cukup mengganggu.
“Rima nggak ada kuliah, Bu. Masih capek, mau tidur lagi,” balas Rima yang kembali menutup mata.
“Eh, harus bangun. Nggak boleh malas. Ayah sama Mas Reno sudah nunggu untuk sarapan. Kamu nggak usah mandi, cuci muka aja terus sarapan,” perintah ibunya lagi.
“Emang Mas Reno sudah sembuh, Bu?” Rima hampir saja melupakan kakaknya itu. Kemarin pria itu sakit, bagaimana keadaannya sekarang? Bahkan, semalam ia lupa untuk melihat kondisi kakaknya.
“Sudah sembuh, dong. Anak-anak Ayah, kan, sehat-sehat semua,” jawab Eliya dengan bangga. Rima hanya mendesah. Selalu seperti itu jika sudah menyangkut ayah mereka.
“Rima ke kamar mandi dulu, Bu. Nanti Rima nyusul,” pamit Rima yang dijawab anggukan oleh ibunya. Wanita itu akhirnya beranjak meninggalkan kamar Rima, meninggalkan putri bungsunya sendirian.
Perlahan, Rima bangkit dari kasur empuknya. Kembali, rasa tak nyaman itu datang. Ia pusing dan mual. Karena tak kuat lagi, ia bergegas ke kamar mandi dengan langkah tertatih. Rima menumpahkan isi perutnya di wastafel hingga tak bersisa. Bagaimana bisa bersisa jika makanan terakhir yang masuk ke mulutnya adalah makanan yang dibawakan Pras kemarin siang—itu pun hanya beberapa suap? Bahkan, Rima melewatkan makan malamnya. Sebelum pulang, Pras sudah mengajaknya untuk makan malam. Namun, Rima berdalih masih kenyang dan akan makan di rumah.
Akhir-akhir ini ia memang tidak memperhatikan apa saja yang telah masuk ke perutnya. Rima tahu, jika dibiarkan, dalam waktu dekat ia akan berubah menjadi zombi mengerikan dengan mata cekung dan wajah kurus berantakan.
Hampir lima belas menit Rima masih belum keluar kamar mandi. Kepalanya masih terus berputar. Ia hanya mampu menunduk sambil mencengkeram pinggiran wastafel agar tubuhnya tak roboh ke belakang. Perutnya masih terasa diaduk-aduk, entah kapan akan bisa berhenti.
“Rim, lama banget kamu di kamar mandi. Ngapain aja, sih?” Suara Reno terdengar tak lama kemudian. Sepertinya pria itu menyusulnya ke kamar. Selang beberapa detik, wajah Reno terlihat terpantul pada kaca di atas wastafel di hadapan Rima. Pria itu kaget melihat wajah pucat Rima yang mendongak setelah muntah.
“Rim, kamu kenapa? Tadi ibu, kok, nggak bilang apa-apa? Kamu sakit?”
Rima menepis tangan Reno pelan saat pria itu mulai memberikan pijatan halus di tengkuknya. “Aku nggak apa-apa,” tukasnya kemudian, setelah ia selesai mencuci wajah dan menyikat giginya. “Cuma sedikit pusing aja, kok, ntar juga hilang. Paling cuma masuk angin.”
“Kamu yakin?”
Rima mengangguk pelan. Ia pun keluar kamar mandi diikuti Reno di belakangnya. Reno waspada, takut adiknya itu roboh tiba-tiba.
“Badan kamu nggak panas,” ucap pria itu setelah meletakkan telapak tangannya pada dahi juga leher Rima yang telah duduk di atas kursi meja rias.
“Aku sudah bilang nggak apa-apa, Mas. Nih, aku mau ikut sarapan.” Rima menyisir pelan rambut sepunggungnya.
“Kamu kecapekan,” putus Reno segera. “Kerja, pulang malam terus. Sudah dibilang berhenti aja. Jangan keras kepala. Kesehatan dan keselamatan kamu lebih penting.”
“Aku akan memikirkannya, Mas Reno nggak usah khawatir,” tutup Rima. Ia pun beranjak dari kamar setelah melipat selimutnya. Urusan membereskan tempat tidur dilakukan nanti saja, toh setelah ini ia akan kembali tidur. Rasa pusing di kepalanya belum sepenuhnya hilang.
Tiga puluh menit kemudian, ayah Rima berangkat ke kantor. Rima heran, kenapa pria itu masih belum juga pergi dari rumah ini? Padahal, kan, biasanya pria itu seharusnya sudah tidak menginap di rumah Rima lagi. Biasanya ia akan kembali ke istri pertamanya setelah dua atau tiga hari menginap.
Namun, Rima tak mau ambil pusing.Usai sarapan, gadis itu berlalu kembali ke kamarnya. Awalnya, ia berniat membantu ibunya membereskan meja makan, tetapi wanita baya itu dengan tegas melarang. Seorang asisten rumah tangga yang rutin datang ke rumah mereka, sudah datang.
Baru lima menit ia duduk di pinggiran ranjang sambil memeriksa pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Rasa mual itu kembali muncul. Ia terpaksa menumpahkan semua menu sarapannya di wastafel kamar mandi.
“Rima, aku berangkat, ya!” Suara Reno terdengar dari depan kamar Rima. Tak mendapatkan respons, pria itu akhirnya memasuki kamar Rima. Pemandangan yang menyentuh hatinya lagi-lagi tertangkap matanya.
Tanpa bicara, Reno membantu memijit pelan pundak dan tengkuk Rima. Berharap meringankan rasa tak nyaman yang dirasakan adiknya.
Setelah Rima membersihkan wajah dan mulutnya, Reno menuntun Rima kembali ke ranjang. Ia juga mengambil minyak kayu putih dan memberikan sebotol air yang selalu tersedia di kamar Rima. Kebetulan masih terisi.
“Kamu beneran nggak apa-apa?”
Rima tersenyum sayu. “Aku nggak apa-apa. Aku mau tidur.”
“Aku bilang ibu dulu, ya, biar kamu dibuatin minuman hangat supaya nggak mual lagi.”
Baru saja Reno akan bangkit dari kasur, Rima segera menarik tangannya. “Nggak usah, Mas. Kalau sudah tidur pasti aku bakal enakan, kok. Mas Reno nggak usah khawatir.” Rima menatap penuh permohonan pada kakaknya.
“Tapi ibu harus tahu. Mungkin kamu butuh dokter?”
“Jangan, nggak usah.” Rima kembali menolak.
Reno menyipitkan mata. Seketika pikiran buruk menyergapnya. Diraihnya jemari adiknya yang terasa dingin. Diremasnya jemari itu pelan, berharap adiknya akan mengerti apa yang ia rasakan.
“Rim, kamu beneran nggak kenapa-napa, kan?”
“Beneran, aku baik-baik saja.” Rima mengulangi lagi pernyataan yang sama.
“Bukan itu yang aku maksud. Kalau ada apa-apa cerita ke aku. Aku akan ada buat kamu.”
Tatapan Reno membuat Rima merasa tak nyaman. “Aku baik-baik saja. Mas nggak usah khawatir.”
Reno mendesah. Sepertinya Rima masih belum paham arah pembicaraannya. Alhasil, Reno memutuskan untuk bicara secara frontal saja.
“Kamu nggak terlalu dekat dengan Pras, kan? Tadi ibu cerita, kamu pulang sama dia tadi malam. Kalian sering bertemu?”
Wajah Rima pias. Ia hanya mampu menunduk. “Maafin Rima, Mas.”
“Hubungan kalian nggak semakin jauh, kan?”
“Maksud Mas Reno apa?” Rima menelan ludah, takut dengan prasangka Reno. Apakah kakaknya itu telah mengetahui yang sebenarnya—bahwa kemarin ia membolos kerja karena bersama Pras? Reno dan orang tua mereka hanya tahu bahwa Pras menjemput Rima dari tempat kerja semalam.
“Kamu nggak lagi hamil, kan, Rim?”
Rima terbelalak mendengar pertanyaan itu.
###
