Sebelas
Sebelas
“Mas, ngomong apa, sih? Sembarangan banget!”
“Maaf, Rim. Aku cuma khawatir. Kalian saling cinta, dia juga pria baik, pasti berat buat kamu lupain dia. Hal apa pun bisa saja terjadi, kan, saat kalian benar-benar putus asa? Aku yakin perasaan kalian juga masih sama.”
“Aku dan dia masih cukup waras untuk gak melakukan hal terlarang itu, Mas. Perlu Mas Reno tahu, walaupun kami sudah kenal lama, dia gak pernah sekalipun melakukan hal terlarang itu ke aku.”
“Syukurlah, Rim. Aku cemas melihat kalian bersama. Aku cuma takut kalian nekat.”
“Hal itu gak akan terjadi, Mas. Kami sudah sama-sama berjanji kalau kemarin adalah pertemuan terakhir kami.”
Reno akhirnya bisa tersenyum lega. “Berarti di sini nggak ada siapa-siapa, kan?” candanya seraya melirik perut Rima.
“Beberapa tahun ke depan bisa saja ada,” balas Rima mengulas senyum.
“Semoga kamu segera mendapatkan pria yang lebih baik dari Pras yang bisa buat kamu melupakan dia.”
“Ya, semoga.”
***
Siang itu setelah menghabiskan tidur beberapa jam di pagi hari, akhirnya Rima berangkat bekerja. Ibunya masih belum tahu jika putri bungsunya itu berangkat bekerja dalam kondisi tubuh yang kurang maksimal. Rima memang tak mengatakannya. Ia juga melarang Reno memberi tahu ibunya.
Setelah turun dari ojek online, Rima bergegas memasuki pintu khusus karyawan. Sepuluh menit kemudian ia telah siap bekerja.
Saat hari mulai berganti petang, sebagian karyawan mendapatkan jatah jam istirahatnya. Rima meminta rekan kerjanya untuk istirahat terlebih dahulu. Setelahnya, barulah dirinya.
Perpaduan antara sepatu berhak tinggi, kelelahan berdiri, kondisi yang tidak fit, dan pendingin udara yang cukup menusuk tulang benar-benar membuat Rima harus kuat menahan tubuhnya agar tidak tumbang. Tadi, sebelum berangkat bekerja ia sempat makan siang. Namun, tetap saja, tubuhnya terasa begitu lemas. Ia bahkan kembali memuntahkan makanannya di toilet, satu jam setelah jam kerjanya dimulai.
Rima tak mungkin absen lagi. Mau tak mau ia harus tetap masuk meskipun sedang kurang begitu sehat.
Lima belas menit sebelum jam istirahatnya dimulai, Rima sudah tak mampu lagi menahan keinginannya untuk ke toilet. Mual kembali menyerangnya. Bahkan, keringat dingin sudah mulai terasa di sekujur tubuhnya.
Dengan langkah tertatih ia segera berjalan menuju toilet diikuti tatapan heran dari beberapa rekan kerjanya. Rima mengeluarkan semua isi perutnya begitu tiba di toilet. Setelahnya ia mencuci wajah juga mulutnya. Pening semakin terasa.
“Rim, kamu nggak apa-apa, kan?” Salah seorang rekan kerja Rima menyusul ke toilet. Gadis itu kemudian menuntun Rima keluar toilet setelah sebelumnya memberikan minyak kayu putih.
“Aku pusing banget,” jawab Rima pelan. Kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya lagi.
“Kalau sakit ngapain masuk?”
“Aku nggak enak, kemarin kan sudah nggak masuk.” Baru saja Rima selesai melontarkan kalimat itu, tubuhnya ambruk seketika. Sempat ia dengar teriakan sang teman memanggil namanya sebelum kegelapan menjemputnya.
***
Ponselnya sedari tadi bergetar pelan, entah siapa yang menghubunginya. Ia masih rapat dengan beberapa relasinya. Rasa tak nyaman lebih mendominasi, membuatnya dengan terpaksa menerima panggilan telepon yang sepertinya penting itu.
Begitu nama gadis kesayangannya yang terlihat di layar ponsel, ketakutannya semakin menjadi. Gadis itu jarang menghubunginya, bahkan nyaris tak pernah sejak tiga tahun lalu.
Apa yang terjadi sampai gadis itu menghubunginya? Bukankah mereka sudah sepakat untuk saling menjauh? Tanpa berpikir panjang, segera diusapnya layar ponsel untuk menerima panggilan.
“Rim?”
“....”
Seketika pria itu terbelalak kaget. Ia hanya mampu mengiyakan ucapan si penelepon yang ia kira gadis kesayangannya itu.
Begitu panggilan ditutup, serampangan ia memohon maaf karena tidak bisa mengikuti rapat hingga selesai. Asistennya segera ia tugaskan untuk menggantikannya melanjutkan memimpin rapat.
Dengan terburu-buru ia melesat meninggalkan kantor, memacu kendaraannya secepat yang ia bisa.
Baru saja salah seorang rekan kerja Rima menghubunginya. Wanita itu mengatakan bahwa Rima pingsan saat bekerja. Ia bingung apa yang harus dilakukan karena Rima tak kunjung sadar, bahkan tubuhnya terasa semakin dingin. Satu-satunya cara adalah menghubungi keluarga Rima. Kebetulan nama Pras ada di daftar panggilan terakhir ponsel Rima.
Tak butuh waktu lama, pria itu tiba di pusat perbelanjaan tempat Rima bekerja. Ia segera memasuki pintu khusus karyawan. Setelah bertanya ke beberapa orang yang ada di sana, akhirnya Pras menemukan gadis itu.
Rima terbaring di atas sofa, dan masih tidak sadarkan diri. Tarikan napas pelan terlihat di sana. Beberapa rekan kerja Rima segera menjelaskan kronologi kejadian, Pras mendengarkan dengan saksama. Kemudian, dengan sigap ia mengangkat tubuh yang terlihat semakin kurus itu ke dalam gendongannya. Beberapa rekan kerja Rima mengikuti sambil membawa barang-barang Rima, memasukkannya dalam mobil Pras.
Begitu tubuh Rima telah terbaring di jok belakang dengan nyaman, Pras segera memacu mobilnya meninggalkan pusat perbelanjaan itu menuju rumah sakit terdekat.
***
Di rumah sakit, Pras menunggu dengan penuh kecemasan. Apa yang telah terjadi pada gadis kesayangannya itu? Semalam Rima masih baik-baik saja. Bagaimana bisa ia sudah lalai dalam menjaga gadis itu?
Akhirnya, kemunculan seorang dokter pria berperawakan tinggi meredakan cemasnya. Dokter itu memanggilnya dan menjelaskan kondisi Rima
Ternyata Rima hanya kelelahan, stres, sehingga asam lambungnya naik. Beberapa saran Pras dapatkan dari dokter itu. Kekhawatirannya berkurang. Pras hanya tinggal menunggu Rima bangun kembali dari efek obat.
Kemudian, Pras segera menghubungi ayahnya, Agung Pranowo, dan memberi tahu pria paruh baya itu tentang kondisi Rima. Selanjutnya, ia segera mengurus administrasi kepindahan Rima ke ruang perawatan.
***
Tiga puluh menit kemudian Rima telah dipindahkan ke sebuah ruang perawatan yang nyaman. Kelas satu. Setelah dalam ruangan itu hanya tersisa mereka berdua, Pras memeluk tubuh Rima yang masih enggan sadar—erat. Pelukan itu hangat. Ditelusurinya wajah yang terlihat pucat itu dengan jemari. Dadanya lagi-lagi sesak oleh rasa yang sejak tiga tahun belakangan enggan pergi.
“Baru kemarin aku melepas kamu, Rim, kenapa jadi kayak gini?” bisik pria itu pelan sambil terus menelusuri wajah Rima dengan jemarinya, memberikan usapan lembut di sana.
Pria itu terus berucap dengan suara pelan, menumpahkan semua perasaannya seperti aji mumpung selagi Rima masih betah menutup mata. Sentuhan terakhir, pria itu memberikan kecupan yang cukup lama pada kening Rima sebelum akhirnya beranjak dari sana.
Ternyata Agung Pranowo dan istri keduanya sudah ada di depan kamar saat Pras tiba di ambang pintu. Ia menyempatkan diri menjelaskan kronologi kejadian pingsannya Rima hari ini, lengkap dengan pembicaraannya dengan dokter tadi. Tak lama kemudian, pria itu segera pamit kepada mereka berdua dengan dalih masih ada pekerjaan di kantor.
Meski sebenarnya Pras ingin tetap di sana, ia harus meredam perasaannya. Khawatir, cemas, sedih, harus ia buang sepenuhnya demi menepati janjinya kepada Rima. Pras sudah berjanji akan menjauh sebisanya, maka itulah yang akan dia lakukan meskipun sulit.
Entah sampai kapan ia bisa menepati janji itu.
***
“Bu, kok Rima ada di sini?” Rima berucap pelan begitu kesadarannya kembali normal.
Sorot lega seketika terlihat dari kedua orang tua di kiri dan kanan Rima. Terselip rasa senang saat melihat kedua orang itu kompak memandangnya dengan pandangan yang selayaknya sepasang orang tua. Ia pernah mengharapkan hal ini—memiliki orang tua yang kompak selalu peduli padanya. Dulu, bertahun-tahun lalu.
“Syukurlah kamu sudah sadar. Kamu tadi pingsan di tempat kerja kamu,” jawab ibu Rima yang kemudian mengulurkan sebotol air mineral yang telah diberikan sedotan kepada Rima.
Pandangan tersadar muncul dari sorot mata Rima. Ia ingat, beberapa saat lalu dirinya memang berada di sebuah ruangan putih dan diajak bicara oleh seorang dokter. Sudah jelas Rima berada di rumah sakit. Bagaimana ia bisa lupa? Efek obat tidur itu pasti membuyarkan ingatannya untuk sesaat.
Rumah sakit? Hei, bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit? Siapa yang membawanya? Rekan-rekan kerjanya, kah?
“Siapa yang bawa Rima ke sini, Bu?” Rima tak ingin menunda rasa penasarannya.
“Mas Pras. Temanmu yang menelepon dia. Mungkin nama dialah yang ada di paling atas log panggilan terakhir kamu.” Agung Pranowo menjelaskan.
Rasa pusing seketika kembali menderanya, memikirkan bagaimana Pras membawanya kemari dan tanggapan teman-temannya. Mereka curigakah? Bagaimana sikap Pras saat melihatnya pingsan? Protektif? Posesif? Melebihi sikap seorang kakak kepada adiknya, kah?
Rima bergidik membayangkannya. “Sekarang Mas Pras di mana?”
“Kembali ke kantor. Tadi dia lagi rapat waktu dikabari.”
Jawaban itu seolah meluluhlantakkan hati Rima. Jadi, pria itu benar-benar menepati kata-katanya. Pras pergi menjauh dari dirinya. Ada rasa tak rela terselip di sana. Namun, Rima bisa apa? Toh, Pras dan dia tak mungkin menjadi nyata.
###
